Minggu, 20 November 2011

LAPORAN PENDAHULUAN ASMA BRONKHIALE

LAPORAN PENDAHULUAN ASMA BRONKHIALE

1 LATAR BELAKANG
Asma merupakan suatu penyakit yang dapat mengenai pada anak-anak hingga dewasa dengan serangan yang sangat menakutkan tanpa mengenal waktu yang selalu membawa penderitaan bagi pasien dan asma dapat timbul karena kecemasan, kegiatan aktivitas yang berat, kelelahan, kurang tidur, infeksi pernafasan, obat-obatan dan alergen.
Di negara-negara yang telah maju penelitiannya, diperkirakan 5% - 20% bayi dan anak-anak menderita asma. Sedangkan pada orang dewasa dan orang tua rata-rata berkisar antara 2% - 10%.(Sundaru H., hal-6, 1995). Penelitian yang pernah dilakukan dibeberapa tempat diperkirakan 2-5 % menderita asma. 

Insiden penyakit asma dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain : umur pasien, jenis kelamin, bakat alergi, bunga, keturunan, lingkungan dan faktor psikologi. Berbagai masalah yang ditimbulkan pada penyakit asma tergantung pada usia, pekerjaan dan fungsi klien dalam keluarga tersebut.
Tingginya angka kekambuhan pada penderita asma sering memberikan dampak pada psikologis dan biologis pasien. Tingkat emosi yang labil dan adanya kecenderungan untuk menolak saran-saran dalam upaya mengeliminasi perilaku yang mendukung kesehatannya, merupakan salah satu respon psikologis pasien asma. Pada serangan asma pasien mengalami keterbatasan fungsi dalam memenuhi segala kebutuhan dasarnya. Dengan demikian perlu kiranya difikirkan tentang pola asuhan keperawatan yang mampu memenuhi keterbatasan fungsi tersebut tanpa menambah beban emosional klien akibat tindakan perawat baik selama serangan, maupun setelah serangan sehingga klien terhindar dari kekambuhan dan dapat berfungsi secara optiman.

2 DEFINISI ASMA BRONKHIALE
Menurut Crocket (1997), Asma Bronkhiale didefinisikan sebagai suatu penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dan gejala-gejala bronkhospasme yang bersifat reversibel. 
Asma bronchiale menurut  American’s Thoracic Society dikutip dari Barata Wijaya (1990) adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respons trakhea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan. 

3 PATOFISIOLOGI
3.1 Patofisiologi Asma Bronkhiale Alergenik
Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan Alergen. Alergen yang masuk ke tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkp oleh makrofaq yang bekerja sebagai Antigen Presenting Cells (APC). Setelah Alergrn diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut alergen dipresentasikan ke sel TH. Sel APC melalui penglepasan Interleukin I (IL-1) mengaktifkan sel TH, melalui penglepasan IL-2 oleh sel TH yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk Ig-E. 
Ig-E yang terbentuk diikat mastoit. yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi.Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk.Ig-E.Sel eosinofil, makrofaq dan trombosit juga memiliki reseptor untuk Ig-E tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastoit dan basofil dengan Ig-E pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala .Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke tubuh akan diikat oleh Ig-E yang sudah ada pada permukaan mastoit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil, Chemotactic Faktor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), Trypase dan Kinin.Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi bronkhus oleh histamin.
Menurut konsep masa kini asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas (Samsuridjal & Bharatawidjaja, 1994; Sundaru, 1996) yang disertai kepekaan saluran napas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkhus (Bronchial Hiper Responsivnees / BHR). Sifat peradangan pada asma khas yaitu adanya tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infiltrasi sel eosinofil.
Hipereaktifitas bronkhus yaitu bronkhus yang mudah sekali mengkerut (Konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok/dapur, bau-bauan yang tajan dan lainnya baik yang berupa irutan maupun yang bukan irutan (Sundaru, H. hal. 27,1996).Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper reaktifitas bronkhus disebabkan oleh inflamasi bronkhus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkhus pasien asma bronkhiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajat berat penyakit.Di klinik adanya hiper reaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asma dianggap secara klinik sebagai penyakir bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkhus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran napas.
Bronkhus pada  pasien asma mengalami odema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asma bronkhiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus.
Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (whezzing) dan batuk yang produktif.

3.2 Patofisiologi Asma Bronkhiale Non Alergenik
Asma Bronkhiale Non Alergenik (Asma Intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olahraga atau kegiatan jasmani yang berat, serta stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan dari pada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkho konstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga massenger kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan menghasilkan ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyccyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkhus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit/basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkho konstriksi, hiper sekresi kelenjar mukus dan oedema kelenjar mukus bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (Baratawidjaja, 1990).

4 FAKTOR PENCETUS SERANGAN ASMA BRONKHIALE
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkhiale atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah :

4.1 Alergen
Alergen adalah zat-zat tertentu bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan serangan asma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus), spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya

4.2 Infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influensa merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronkhiale. Diperkirakan dua pertiga pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas.(Sundaru, 1991).

4.3 Stress psikologik
Stress psikologik bukan sebagai penyebab asma tetapi sebagai pencetus asma, karena banyak orang yang mendapat Stress psikologik tetapi tidak menjadi penderita asma bronkhiale. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Yunus, 1994).

4.4 Olah raga / kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asma bronkhiale akan mendapatkan serangan asma bila melakukan olahraga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan jasmani (Exercise Induced Asthma / EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olahraga.

4.5 Obat-obatan
Beberapapasien asma bronkhiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.

4.6 Polusi udara
Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran sulfur dioksida dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam.

4.7 Lingkungan kerja
Diperkirakan 2 – 15% pasien asma bronkhiale pencetusnya adalah lingkungan kerja (Sundaru H., 1991). Beberapa zat yang didapat di tempat pekerjaan yang dapat mencetuskan serangan asma seperti pada tabel berikut :
PENCETUS LOKASI
1). Bulu dan serpih kulit binatang
2). Enzim bakteri subtilis
3). Debu kopi dan teh
4). Debu kapas
5). Toluen diisosianat
6). Debu gandum dan padi-padian

7). Amoniak, sulfur dioksida, asam klorida, klorin
8). Garam platina
9). Ampisiln, spiramisin, piperasin. 1). Laboratorium hewan dan peternakan
2). Industri detergen
3). Pengolahan kopi dan teh
4). Industri tekstil
5). Industri plastik
6). Pabrik roti dan bongkar muat di gudang gandum dan padi-padian
7). Industri kimia dan perminyakan

8). Pemurnian Platina
9). Industri Obat-obatan

4.8 Lain-lain
Selain faktor-faktor tersebut di atas masih terdapat faktor-faktor yang mencetuskan serangan asma seperti lingkungan dan cuaca yang terlalu lembab, terlalu panas, terlalu dingin, bumbu masak (monosodium glutamat), bahan pengawet makanan (asam benzoat), zat pewarna kuning (tartarazin). Dan beberapa keadaan dapat memperberat serangan asma seperti sinusitis, rinitis dan regurgitasi asam lambung.

5 MANIFESTASI KLINIS
Selama serangan asma, klien mengalami dispnea dan tanda-tanda kesulitan pernapasan. Permulaan tanda-tanda serangan terdapat sensasi konstriksi dada (dada terasa berat), whezing, batuk non produktif, takhikardi dan takipnea.
Beratnya asma dapat diklasifikasikan dalam : ringan, sedang dan berat tergantung gejala-gejala. Sistem skoring diberikan untuk mengklasifikasikan tersebut.
Tabel Penilaian Keperahan Asma (Skoring)
Gejala Penggunaan Bronkhodilator Variabilitas PEFR (APE)
Terjaga malam hari                          4
Gejala tiap hari                                 3
Gejala < tiap hariperminggu            2
< tiap minggu atau waktu olah raga 1
Tidak ada serangan selama 3 bulan 0 > 4 x / hari
1 – 4 x / hari
< tiap hari
< per minggu
tidak selama 3 bulan > 25 %                   4
15 – 25 %              3
10 – 15 %              2
6 – 10 %                1
< 6 %                     0

Dikutip dari Assagaf H & Mukty A, 1995
Skore maksimum : 12
Asma ringan : 1 – 5
Asma sedang : 6 – 8
Asma berat : 9 – 12

Variabilitas PEFR : Harga PEFR tertinggi – harga PEFR terendah X 100 %
Harga PEFR tertinggi
PEFR : Peak Expiratory Flow Rate
APE : Arus Puncak Ekspirasi

6. MANAGEMEN MEDIS
Episode asma akut (serangan asma) dapat termasuk kedaruratan medis. Intervensi medis untuk episode ini secara primer bertujuan :
1. Memelihara kepatenan jalan nafas dengan menurunkan bronkhospasme atau membersihkan sekret yang berlebihan atau yang tertahan.
2. Memelihara keefektifan pertukaran gas
3. Mencegah komplikasi seperti gagal nafas akut dan status asmatikus
Obat-obatan yang dipakai meliputi bronkhodilator dan anti inflamasi atau keduanya. 
Obat anti inflamasi meliputi :
Kortikosteroid
Sodium kromolin
Anti inflamasi lainnya
Obat bronkhodilator :
a. Adrenergik :
Epinefrin
Efedrin
Isoproterenol
Beta adrenergik agonis selektif
b. Non Adrenergik :
Teofilin
Aminofilin
Perlu juga dibeirkan oksigen 2 – 4 liter/menit.

7 MANAGEMEN KEPERAWATAN
Pengkajian :
1. Riwayat Keperawatan
Perlu dikaji riwayat adanya pemaparan (pemajanan) faktor-faktor yang biasanya mencetuskan serangan asma bronkhiale. Dan perlu ditanyakan bagaimana kemampuan klien untuk menghindari faktor pencetus tersebut, ataukah klien sudah mengetahui beberapa faktor pencetus tersebut.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama klien adalah sesak napas, setelah terpapar oleh alergen atau faktor lain yang mencetuskan serangan asma bronkhiale.
3. Pemeriksaan Fisik :
a. Sistem pernafasan
Peningkatan frekuensi pernafasan, susah bernafas, perpendekan periode inspirasi.
Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi sternum, pengangkatan bahu waktu bernafas).
Pernafasan cuping hidung.
Adanya mengi yang terdengar tanpa stetoskop.
Bunyi nafas : whezzing, pemanjangan ekspirasi.
Batuk keras, kering dan akhirnya batuk produktif.
b. Sistem Kardiovaskuler
Takhikardia
Tensi meningkat
Pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah > 10 mmHg pada waktu inspirasi)
Sianosis
Dehidrasi
Diaforesis
c. Psikososial
Peningkatan ansietas : takut mati, takut menderita, panik, gelisah
4. Pemeriksaan penunjang :
a. Darah : Kadar IgE meningkat dan eosinophil meningkat
b. Gas darah arteri : Penurunan PaO2 dan PaCO2 namun selanjutnya PaCO2 meningkat sesuai dengan meningkatnya tekanan jalan nafas
c. Faal Paru : Menurunnya FEV1
d. Tes kulit : Untuk menentukan jenis alergen.

Diagnose Keperawatan dan Rencana Intervensi :
1. Ketidak efektifan pola napas sehubungan dengan gangguan ekspirasi dan ansietas
Tujuan
Klien mampu menunjukkan pola pernafasan yang normal
Ditandai :
a. Penurunan frekuensi pernapasan sampai kebatas normal
b. Penurunan tanda dari sesak nafas, dan penurunan otot bantu nafas.
c. Analisa gas darah dalam batas normal
d. Vital capacity dalam batas normal
Rencana Intervensi :
a. Kaji kembali dan observasi frekuensi pernafasan, kedalaman pernapasan dan adanya tanda-tanda sesak nafas.
b. Monitor nilai analisa gas darah untuk mengetahui keefektifan pengobatan
c. Baringkan pasien dalam posisi fowler’s untuk meminimalkan kerja ekspansi dada.
d. Berikan Oksigen pernasal sesuai order dokter.
e. Lakukan kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat-obatan :
Kortikosteroid
Bronkhodilator
Antihistamin

2. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas sehubungan dengan peningkatan produksi sekret.
Tujuan :
Klien akan menunjkkan keefektifan jalan nafas/klien mampu mempertahankan jalan napas yang paten.
Ditandai :
a. Penurunan whezzing dan ronchi
b. Kecepatan dan kedalaman pernafasan normal
c. Tak ada dispenia, sianosis
d. Analisa gas darah dalam batas normal
e. Penurunan batuk kering/non produktif
Rencana intervensi :
a. Kaji suara nafas tiap jam selama episode akut untuk menilai keadekuatan pertukaran gas.
b. Jika memungkinkan lakukan suction
c. Monitor warna dan konsistensi sputum karena asma sering sebagai akibat infeksi saluran nafas atas.
d. Kaji keefektifan batuk klien, anjurkan untuk batuk efektif.
e. Tingkatkan intake cairan untuk mencegah sekret yang kental, untuk mengembalikan cairan yang hilang akibat respirasi yang cepat.
f. Berikan humidifier untuk mengencerkan dahak.
g. Jika sekret kental dan sulit dikeluarkan, lakukan fisioterapi dada : Perkusi dan vibrasi.
h. Berikan perawatan mulut, setiap 2 – 4 jam, untuk menghilangkan rasa tidak enak akibat dari sekret.
i. Lakukan order dokter dalam pemberian expectoran.

3. Ansietas sehubungan dengan kesulitan bernafas, takut menderita, dan atau takut serangan berulang.
Tujuan :
Klien mendemonstrasikan penurunan rasa takut dan ansietas
Ditandai :
a. Ekspresi wajah relaks
b. Mengungkapkan perasaan cemas berkurang
c. Tanda vital dalam batas normal
Rencana intervensi :
a. Kaji tingkat ansietas (ringan, sedang, berat)
b. Kaji kebiasaan ketrampilan koping
c. Berikan dukungan emosional :
Tetap berada di dekat pasien selama serangan akut
Antisipasi kebutuhan pasien
Berikan keyakinan yang menenangkan
d. Implementasikan teknik relaksasi
e. Kegiatan sehari-hari yang ringan dan sederhana
f. Jangan berbicara bila sedang dispnea berat

4 Potensial terjadi kekambuhan serangan asma 
Tujuan :
Mencegah terjadinya kekambuhan
Rencana intervensi
Berikan penyuluhan tentang usaha pencegahan serangan asma,yaitu :
a. Menjaga kesehatan dengan cara makan makanan yang bergizi, istirahat cukup, minum banyak, rekreasi dan olahraga yang sesuai.
b. Menjaga kesehatan lingkungan, dengan cara membersihkan rumah, ruangan, kamar tidur dan menghindari tempat lembab.
c. Menghindari faktor pencetus.
d. Menggunakan obat-obatan anti asma.
Peran peraat di sini yaitu mengajarkan cara menggunakan obat anti asma sesuai dengan aturan pakai.
e. Lain-lain (Meditasi).

8 KESIMPULAN
Asma timbul karena beberapa faktor pencetus dengan serangan yang sangat menakutkan dan cenderung mengakibatkan kekambuhan.Keadaan ini menimbulkan beberapa dampak antara lain :
1. Emosi yang labil.
2. Perilaku sehat yang menurun.
3. Keterbatasan fungsi tubuh.
Dalam hal ini perawat mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengatasi dan mencegah timbulnya serangan asma.
Asuhan keperawatan yang diberikan akan membantu klien memenuhi kebutuhan dasarnya dan menghindarkan diri dari kekambuhan sehingga dapat berfungsi secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Anes, SW. (1998). Essentials of Adult Health Nursing. Menlo Park. California.

Baratawidjaja, G. K. (1990). Asma Bronkhiale.Dalam Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid II. FKUI. Jakarta.

Black. JM and Ester MJ (1997). Medical Surgical Nursing.Vol. 2, W. B. Saunders Company. Philadelphia.

Engram,B. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan medical bedah. Vol 1. EGC. Jakarta.

Fax ,SI and Graw ,M (1999). Human Physiology. Hill Companies. Nort America.

Gibson, JM. (1998). Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk  perawat. EGC. Jakarta.

Kaliner, MA. (1991). Astma its Pathology and Treatment. Vol. 49, National Institutes of Health Bethesda, Maryland.

Kontaraf, J. (1992). Olah Raga Sumber Kesehatan. Advent. Bandung.

Sundaru H. (1995). Asma : Apa dan Bagaimana Pengobatannya. FKUI. Jakarta.














ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ASMA

PENGERTIAN
Penyakit pada bronkus dengan karakteristik bronkospasme ( Black, 1997).

Etiologi dan Faktor Resiko
Faktor lingkungan
Infeksi virus
Allergens
pollutan
Faktor dari dalam (predisposisi)
Stress, laughing, crying
Exercise (latihan)
Perubahan temperatur
Bau yang menyengat

Patofisiologi
Asma merupakan proses peradangan kronik yang menyebabkan edema mukosa, sekresi mukus, peradangan saluran pernapasan. Ketika seseorang dengan asma terpapar allergen ekstrinsik dan iritan (seperti debu, serbuk, asap rokok, jamur, obat, makanan), saluran pernapasan menjadi terinflamasi, menyebabkan napas pendek, sesak napas, daqn wheezing. Manifestasi klinik awal ( Reaksi fase awal) terjadi segera + 1 jam. 
Pada saat klien kontak dengan allergen, Ig E dihasilkan oleh limfosit B. Antibodi Ig E menempel pada sel mast dan basofil pada dinding bronkus. Sel mast melepaskan mediator kimia peradangan seperti histamin, Bradikinin, prosraglandin dan SRS-A (slow reacting subsctance of anaphylaxis). Substansi ini menyebabkan dilatasi kapiler yang menyebabkan edema pada saluran pernapasan sebagai usaha untuk mencairkan allergen dan membersihkannya dari saluran pernapasan.
Substansi ini juga menyebabkan konstriksi saluran pernapasan untuk menutup airway guna mencegah terhirupnya allergen lebih banyak lagi. Pada sebagian klien dengan asma mengalami Reaksi yang terlambat. Walaupun gejala pada fase ini sama dengan gejala awal, gejala tidak muncul sampai 2-8 jam setelah terpapar allergen dan munkin sampai berjam-jam atau bahkan 1 hari. Pada kedua fase, pelepasan mediator kimia menyebabkan respon airway. Walaupun pada Reaksi fase yang terlambat, mediator menarik sel-sel yang terinflamasi yang lain dan menimbulkan obstruksi dan inflamasi yang terus-menerus. Inflamasi yang kronik ini menghasilkan hiperresponsif dari saluran pernapasan. Hal ini menyebabkan episode respon yang berikutnya dimana tidak hanya antigen yang spesifik tetapi juga merangsang pengerahan tenaga atau pernapasan sehingga manifestasi kliniknya mungkin terjadi peningkatan frekuensi dan kegawatan.
Reseptor adrenergik alpha dan beta pada sistem saraf Simpatis ditemukan di bronkus. Hal ini menyebabkan bronkokonstriksi. Sebaliknya stimulasi reseptor adrenergik beta menyebabkan bronkodilatasi. AMP menyeimbangkan 2 reseptor. Beberapa teori menyarankan bahwa asma mungkin kekurangan Stimulasi adrenergik. Jika klien mengalami serangan asma dan tidak ada pengobatan yang dekat, serangan kadang bisa dikurangi dengan pernapasan bibir. Kafein juga dapat digunakan untuk menghentikan serangan asma, tetapi keefektivannya belum terbukti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Photobucket