MALARIA
1.1. Latar belakang penelitian
Penyakit malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan parasit dari kelompok Plasmodium yang berada di dalam sel darah merah, atau sel hati yang ditularkan oleh nyamuk anopheles. Sampai saat ini telah teridentifikasi sebanyak 80 spesies anoipheles dan 18 spesies diantaranya telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria.
Penyakit malaria ini sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, khususnya di bagian Indonesia Timur.Angka mortalitas akibat penyakit ini dibeberapa daerah di Indonesia sampai saat ini cukup tinggi yaitu sebesar 20,9 – 50 %. Seperti di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan salah satu daerah endemis malaria dan penyakit ini menduduki rangking ke 2 dari 10 besar dari penyakit utama di Puskesmas. Berdasarkan Profil Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun 1996 s/d 1997, Insiden penyakit malaria yang diukur berdasarkan Annual Malaria Incidence (AMI) sejak tahun 1996 s/d 1997 cenderung meningkat, seperti terlihat pada data berikut : tahun 1996 sebesar 189,17 ‰, sedangkan pada tahun 1997 sebesar 197,5 ‰ sedangkan Parasite Rate (PR) mengalami penurunan dari tahun 1996 sebesar 4,41% dan pada tahun 1997 sebesar 1,77%, namun jika dilihat perdesa masih ada desa dengan RP > 10 %, disamping itu penyakit malaria ini juga sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (Kanwil Depkes. NTT, 1998).
Dalam rangka pemberantasan penyakit malaria tersebut sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan sejak tahun 1960, misalnya penemuan dan pengobatan penderita, pemberantasan vektor, survei entomology, dan penelitian-penelitian yang mendukung, namun sampai saat ini belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini disebabkan 1) terlalu mengandalkan satu teknologi yang ternyata tidak mampu mengatasi malaria di semua wilayah yang terjangkit malaria yaitu penyemprotan dengan menggunakan DDT, 2) plasmodium falcifarum yang resisten terhadap choloquin, dimana berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Propinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1983 bahwa telah terjadi resistensi plasmodium terhadap kloruquin secara in-vitro dan vivo di Robek, - Manggarai (Tjitra. E), 3) masalah operasional yang meliputi :pengadaan obat, penyampaian obat kepada penderita , keteraturan minum obat. 4) pemberantasan malaria dilakukan secara terpisah dari program kesehatan lainnya yang ada dalam institusi kesehatan. 5) kurang memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat di wilayah terjangkitnya malaria. Masalah aspek sosial budaya ini berupa perilaku dari masyarakat yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan tentang malaria.
Mengingat keadaan tersebut, maka perlu diteliti faktor resiko apakah yang mempengaruhi terjadinya penyakit malaria tersebut.
Rumusan Masalah :
Apakah faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit malaria di wilayah Puskesmas Niki-niki, Kecamatan Amanatun Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan.
1.3. Tujuan :
1.3.1. Tujuan umum :
Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi kekambuhan penyakit malaria pada penderita malaria di wilayah Puskesmas Niki-niki Kabupaten Timor Tengah Selatan.
1.3.2.Tujuan khusus :
Mengetahui hubungan faktor umur terhadap kekambuhan penyakit malaria.
Mengetahui hubungan faktor jenis kelamin terhadap kekambuhan penyakit malaria.
Mengetahui hubungan faktor jenis plasmodium terhadap kejadian penyakit malaria.
Mengetahui hubungan cara hidup terhadap kejadian penyakit malaria.
Mengetahui hubungan faktor social ekonomi terhadap kejadian penyakit malaria.
Mengetahui hubungan faktor status gizi terhadap kejadian penyakit malaria.
Manfaat penelitian :
Membantu pengelola program malaria untuk menentukan intervensi dalam rangka menurunkan angka kesakitan malaria.
Bagi peneliti sendiri dapat mengembangkan kemampuannya dan meyumbangkan ilmunya bagi kemajuan dirinya dan institusi tempatnya bertugas.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi
Penyakit malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh sporozoa dari genus plasmodium yang berada di dalam sel darah merah, atau sel hati. Sampai saat ini dikenal cukup banyak spesies dari plasmodia yang terdapat pada burung, monyet, kerbau, sapi, binatang melata.
Agen (parasit/Plasmodium)
Agen penyebab malaria dari genus Plasmodium, Familia Plasmodiidae, dari ordo Coccidiidae. Penyebab malaria pada manusia di Indonesia sampai saat ini empat spesies plasmodium yaitu Plasmodium falciparum sebagai penyebab malaria tropika, Plasmodium vivax sebagai penyebab malaria tertiana, Plasmodium malarie sebagai penyebab malaria kuartana dan Plasmodium ovale, jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika. (Pampana E.J. 1969; Gunawan S. 2000). Jenis Plasmodium yang sering menyebabkan kekambuhan adalah P. vivax dan P. ovale (Benenson, A.S., 1990; Crewe W., 1985).
Seorang penderita dapat ditulari oleh lebih dari satu jenis Plasmodium, biasanya infeksi semacam ini disebut infeksi camopuran. Tapi umumnya paling banyak hanya dua jenis parasit, yaitu campuran antara P. falcifarum denganP. vivax atau P. ovale. Campuran tiga jenis parasit jarang sekali terjadi (Departemen Kesehatan RI, 1999).
Cara Penularan
Penularan secara alamiah (natural infection)
Penularan secara alamiah dari nyamuk anopheles ke tubuh manusia hingga sakit dapat dilihat pada gambar 2.1. brikut (Depkes. RI., 1999)
Orang sakit malaria Digigit Nyamuk malaria
(belum terinfeksi parasit)
Menjadi Menjadi
Menggigil
Orang sakit Nyamuk malaria terinfeksi
(mengandung sporozoit)
Gambar 2.1. Penularan Penyakit Malaria Secara Alamiah
Penjelasan dari gambar tersebut secara sederhana dapat dilihat pada keterangan di bawah ini :
* Orang Sakit Malaria * Nyamuk vektor penyebab penyakit
Digigitnyamuk (vektor) penyebar Nyamuk yang telah menhisap darah
penyakitmalaria. Saat nyamuk me orang sakit akan terinfeksi oleh pa-
nghisap darah orang sakit itu, maka rasit malaria. Dalam tubuh nyamuk
akan terbawa parasit malaria yang terjadi siklus hidup parasit malaria
ada dalam darah. (seksual).
* Orang Sehat * Nyamuk vektor penyebar penyakit
Digigitnyamuk malaria yang telah Nyamuk yang telah terinfeksi para-
Terinfeksi oleh plasmodium. Pada sit malaria (sporozoit) menggigit
sakit akan terinfeksi oleh plasmo- orang sehat
dium. Pada saat menggigit maka
parasit malaria yang ada dalam tu-
buh nyamuk masuk ke dalam darah
manusia. Kemudian manusia sehat
menjadi sakit. Dalam tubuh manu –
sia terjadi siklus hidup parasit malaria.
Penularan yang tidak alamiah
Penularan yang tidak alamiah ada 3 macam (Knight R., 1985, Russel P.F., 1963), yaitu :
2.1.3.2.1.Malaria bawaan (congenital)
Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria. Penularan biasanya melalui tali pusat.
2.1.3.2.2.Secara mekanik
Penularan terjadi melalui tranfusi darah atau melalui jarum suntuk. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para morfinis yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril lagi, cara penularan ini pernah dilaporkan terjadi di salah satu rumah sakit di bandung pada tahun 1981, pada penderita yang dirawat dan mendapatkan suntikan intravena dengan menggunakan alat suntik yang dipergunakan untuk menyuntik beberapa pasien, dimana alat suntik itu seharusnya dibuang sekali pakai/disposible (Departemen Kesehatan RI., 1999).
2.1.3.2.3.Secara oral
Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam, dan monyet.
Penegakan diagnosa
Diagnosa malaria didasarkan atas manifestasi klinis (termasuk anamnesis), uji imunoserologis dan menemukan parasit (Plasmodium) malaria dalam darah penderita. Penegakan diagnosis melalui pemeriksaan laboratorium memerlukan persyaratan tertentu agar mempunyai nilai diagnostik yang tinggi yaitu : waktu pengambilan sampel harus tepat yaitu pada akhir periode demam memasuki periode berkeringat, karena pada periode ini jumlah trophozoite dalam sirkulasi mencapai maksimal dan cukup matur sehingga memudahkan identifikasi spesies parasit. Volume darah yang diambil sebagai sampel cukup, yaitu darah kapiler. Kualitas preparat harus baik untuk menjamin identifikasi spesies Plasmodium yang tepat (Purwaningsih, 2000). Diagnosa malaria dibagi dua (Departemen Kesehatan RI., 1999), yaitu :
Secara Klinis (Tanpa Pemeriksaan Laboratorium)
Yaitu diagnosis berdasarkan gejala-gejala klinis malaria, yang gejala umumnya ditandai dengan “ Trias Malaria”, yaitu demam, menggigil dan sakit kepala.
Secara laboratorium (Dengan Pemeriksaan Sediaan Darah)
Selain berdasarkan gejala-gejala klinis, juga dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan SD tetes tebal. Apabila hasil pemeriksaan SD tetes tebal selama 3 kali berturut-turut negatif, diagnosa malaria dapat disingkirkan. Bila dihitung parasit > 5% atau 5000 parasit/200 lekosit, maka didiagnosa sebagai malaria berat. Di daerah yang tidak ada sarana laboratorium dan mikroskop, diagnosa malaria ditegakkan hanya berdasarkan pemeriksaan klinis tanpa pemeriksaan laboratorium (anamnese dan pemeriksaan fisik saja)..
Gejala klinis
Gejala dari penyakit malaria terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu (parokisme), yang diselingi oleh suatu periode (periode laten) dimana penderita bebas sama sekali dari demam. Jadi gejala klinis utama
dari penyakit malaria adalah demam, menggigil secara berkala dan sakit kepala disebut “Trias Malaria” (Malaria paroxysm). Secara berurutan. Kadang-kadang menunjukkan gejala klinis lain seperti : badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan sel darah merah dan berkeringat, napsu makan menurun, mual-mual, kadang-kadang diikuti muntah, sakit kepala dengan rasa berat yang terus menerus, khususnya pada infeksi dengan falsiparum. Dalam keadaan menahun (kronis) gejala tersebut diatas disertai dengan pembesaran limpa. Pada malaria berat, gejala-gejala tersebut diatas disertai kejang-kejang dan penurunan kesadaran sampai koma. Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya, tetapi yang menonjol adalah diare dan anemia serta adanya riwayat kunjungan atau berasal dari daerah malaria.
Stadium menggigil
Dimulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin, nadi cepat lemah, bibir dan jari pucat/kebiruan. Penderita mungkin muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 sampai 1 jam.
Stadium demam
Setelah merasa kedinginan penderita merasa kepanasan, muka merah, kulit kering, dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala, nadi lebih kuat. Penderita merasa sangat haus dan suhu tubuh bisa mencapai 41 ÂșC. Stadium ini berlangsungantara 2-4 jam.
Stadium berkeringat
Penderita berkeringat banyak, suhu badan menurun dengan cepat, kadang-kadang samapai di bawah suhu normal, dapat tidur nyenyak dan setelah bangun tidur badan terasa lelah tetapi tidak ada gejala lain. Stadium ini berlangsung antara 2-4 jam. Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria adalah : (Harijanto P.N.2000: Departemen Kesehatan, 1999; Pampana F.J., 1969; Russel P.F., 1963).
1). Serangan primer
Yaitu keadaan ulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan paroksismal yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat. Serangan paroksismal ini dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitas penderita.
2). Periode latent
Periode ini ditandai dengan tanpa gejala dan tanpa parasetemia selama terjadinya infeksi malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal. Periode latent dapat terjadi sebelum serangan primer atau sesudah serangan primer dimana parasit sudah tidak ada di peredaran darah tepi tetapi infeksi masih berlangsung.
Rekrudensi (Recrudescense)
Berulangnya gejala klinik dan parasetemia dalam masa 8 minggu sesudah berakhirnya serangan primer. Recrudescense dapat terjadi sesudah periode latent dari serangan primer.
Rekurensi (Recurrence)
Yaitu berulangnya gejala klinik atau parasetemia sesudah 24 minggu berakhirnya serangan primer. Keadaan ini juga menerangkan apakah gejala klinik disebabkan oleh kehidupan parasit berasal dari bentuk di luar eritrosit (hipnosist) atau parasit dari bentuk eritrosit.
Kambuh (Relaps atau “Rechute”)
Ialah berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari waktu diantara serangan periodek dari infeksi primer. Istilah relaps dipakai untuk menyatakan berulangnya gejala klinik setelah periode yang lama dari masa latent, samapai 5 tahun, biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar eritrosit (hati). Kekambuhan (relaps) malaria dapat digolongkan pada kekambuhan klinis atau kekambuhan parasit. Kekambuhan klinis adalah adanya serangan klinis, terjadi tanpa disertai adanya reinfeksi. Sedangkan kekambuhan parasit adalah timbul kembali atau terjadinya peningkatan jumlah parasit, yang terjadi sesudah periode sub-patency atau parasetemia (Russel, 1963).
Masa Inkubasi
Masa inkubasi penyakit malaria dibedakan atas masa inkubasi ekstrinsik (= stadium sporogani) dan masa inkubasi intrinsik. Masa inkubasi ekstrinsik adalah mulai saat masuknya gametosit ke dalam tubuh nyamuk sampai terjadinya stadium sporogani dalam tubuh nyamuk yaitu terbentuknya sporozoit yang kemudian masuk ke dalam ke lenjar air liur. Masa inkubasi ekstrinsik dipengaruhi oleh suhu udara. Pada suhu 26C, untuk setiap species adalah sebagai berikut : P. falcifarum 10-12 hari (15), P. vivaks : 8 – 11 hari, P. ovale 15 hari (Departemen Kesehatan RI, 1999).
Masa inkubasi intrinsik adalah waktu mulai saat masuknya sporozoit ke dalam darah samapai timbulnya gejala klinis/demam atau sampai pecahnya sizon darah. Masa inkubasi intrinsik berbeda tiap spesies ; P. falcifarum 9-14 hari (12), P. vivaks : 12 – 17 (15) hari, P. ovale 16 – 18 (17) hari (Russel P.F., 1963).
Masa inkubasi intrinsik berbeda dengan masa prepaten yang menggambarkan jarak waktu antara masuknya sporozoit dan pemunculan parasit saat pertama kali ada di darah tepi. Masa subpaten merupakan masa dimana jumlah parasit yang ada pada darah tepi sangat sedikit sehingga belum bisa ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik, masa ini biasanya disebut subpaten parasitemia. Masa prepaten dan subpaten parasitemia selanjutnya diikuti oleh adanya gejala klinis yang biasanya disertai oleh paten parasitemia (adanya parasit di darah tepi yang sudah bisa ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik). Serangan pertama terdiri dari beberapa parokisme (serangan demam dengan interval waktu tertentu, tergantung pada lamanya siklus sisogoni darah setiap spesies). Bila serangan pertama ini tidak diobati dengan sempurna mungkin timbul rekrudensi atau rekurensi. Serangan klinis selanjutnya akan dipengaruhi oleh imunitas penderita yang kemudian timbul. Kekambuhan atau relapse (rekrudensi/rekurensi) tanpa disaertai gejala klinis relapse parasit. Interval antara waktu dua relaps disebut masa/periode laten (WHO, 1981).
Faktor host yang mempengaruhi terjadinya penyakit malaria :
Umur :
Anak-anak lebih rentan terhadap infeksi parasit malaria, terutama pada anak dengan gizi buruk (Rampengan T.H., 2000). Infeksi akan berlangsung lebih hebat pada usia muda atau sangat muda karena belum matangnya system imun pada usia muda sedangkan pada usia tua disebabkan oleh penurunan daya tahan tubuh misalnya oleh karena penyakit penyerta seperti Diabetes Melitus (Weir D.M., 1987). Perbedaan angka kesakitan malaria pada berbagai golongan umur selain dipengaruhi oleh faktor kekebalan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti pekerjaan , pendidikan dan migrasi penduduk (Departemen Kesehatan RI,2000).
Jenis kelamin
Perbedaan angka kesakitan malaria pada anak laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, migrasi penduduk dan lain-lain (Departemen Kesehatan., RI 1991).
Riwayat malaria sebelumnya
Orang yang pernah terinfeksi malaria sebelumnya biasanya akan terbentuk imunitas sehingga akan lebih tahan terhadap infeksi malaria. Contohnya penduduk asli daerah endemik akan lebih tahan dibandingkan dengan transmigran yang dating dari daerah non endemis (Dachlan Y.P., 1986 : Smith, 1995 : Maitland, 1997)
Ras
Beberapa ras manusia atau kelompok penduduk mempunyai kekebalan alamiah terhadap malaria, misalnya “siekle cell anemia” merupakan kelainan yang timbul karena penggantian asam amino glutamat pada posisi 57 rantai hemoglobin. Bentuk heterozigot dapat mencegah timbulnya malaria berat, tetapi tidak melindungi dari infeksi. Mekanisme perlindungannya belum jelas, diduga karena eritrosit Hb S (sickle cell train0 yang terinfeksi parasit lebih mudah rusak di system retikuloendothelial, dan/atau karena penghambatan pertumbuhan parasit akibat tekanan O2 intraeritrosit rendah serta perubahan kadar kalium intra sel yang akan mengganggu pertumbuhan parasit atau karena adanya akulasi bentuk heme tertentu yang toksik bagi parasit (Nugroho A., 2000). Selain itu penderita ovalositosis (kelainan morfologi eritrosit berbentuk oval) di Indonesia banyak terdapat di Indonesia bagian timur dan sedikit di Indonesia bagian barat. Prevalensi ovalosis mulai dari 0,25 % (suku Jawa) sampai 23,7 % suku Roti (Setyaningrum, 1999).
Kebiasaan
Kebiasaan sangat berpengaruh terhadap penyebaran malaria. Misalnya kebiasaan tidak menggunakan kelambu saaat tidur dan senang berada diluar rumah pada malam hari. Seperti pada penelitian di Mimiki Timur, Irian Jaya ditemukan bahwa kebiasaan penduduk menggunakan kelambu masih rendah (Suhardja, 1997)
Status gizi :
Status gizi ternyata berinteraksi secara sinergis dengan daya tahan tubuh. Makin baik status gizi seseorang, makin tidak mudah orang tersebut terkena penyakit . Dan sebaliknya makin rendah status gizi seseorang makin mudah orang tersebut terkena penyakit (Nursanyoto, 1992).
Pada banyak penyakit menular terutama yang dibarengi dengan dengan demam, terjadi banyak kehilangan nitrogen tubuh. Nitorgen tubuh diperoleh dari perombakan protein tubuh. Agar seseorang pulih pada keadaan kesehatan yang normal, diperlukan peningkatan dalam protein makanan. Penting diperhatikan pula bahwa fungsi dari dari semua pertahanan tubuh membutuhkan kapasitas sel-sel tubuh untuk membentuk protein baru. Inilah sebabnya maka setiap defesiensi atau ketidak seimbangan zat makanan yang mempengaruhi setiap system protein dapat pula menyebabkan gangguan fungsi beberapa mekanisme pertahanan tubuih sehingga pada umumnya melemahkan resistensi host. Malnutrisi selalu menyebabkan peningkatan insiden penyakit-penyakit infeksi dan terhadap penyakit yang sudah ada dapat meningkatkan keparahannya (Maria, 1992).
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan salah satu cara untuk memantau keadaan gizi (status gizi) bagi orang dewasa. Dengan IMT akan diketahui apakah seseorang dewasa tersebut normal, kurus atau gemuk (Departemen Kesehatan RI., 1995).
Nilai BMI dihitung berdasarkan rumus sbb :
Berat badan (Kg)
BMI =
(Tinggi badan dalam m)
Tabel 1
Klasifikasi Stutus Gizi Berdasarkan Nilai BMI
Kategori BMI (Kg/m2)
Kurus
Normal
Gemuk Tingkat berat
Tingkat ringan
Tingkat berat
Tingkat ringan
18,5-25,0
25,0-27,0
> 27,0
Sumber : Departemen Kesehatan RI., 1995
Sosial ekonomi
Faktor social ekonomi sangat berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan dasarnya seperti : sandang, pangan dan papan. Semakin tinggi sosisla ekonomi seseorang semakin mudah pula seseorang mencukupi segala kebutuhan hidupnya termasuk di dalamnya kebutuhan akan pelayanan kesehatan, makanan yang bergizi serta tempat tinggal yang layak dan lain-lain . Menurut Biro Pusat Statistik, semakain tinggi status social ekonomi seseorang maka pengeluaran cenderung bergeser dari bahan makanan ke bahan non makanan. Jadi faktor social ekonomi seperti kemiskinan, harga barang yang tinggi, pendapatan keluarga rendah, dan produksi makanan rendah merupakan resiko untuk terjangkitnya malaria (Wirjatmadi B., 1985).
Immunitas
Immunitas ini merupakan suatu pertahanan tubuh. Masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria biasanya mempunyai imunitas yang alami sehingga mempunyai pertahanan alam terhadap infeksi malaria.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan penyakit malaria :
Menurut Departemen Keseharan RI, tahun 1999, ada 2 macam kekambuhan yaitu kekambuhan rekrudensi (short term relapse) yang timbul oleh karena parasit malaria dalam eritrosit menjadi banyak, dapat timbul beberpa minggu (8 minggu) setelah penyakit sembuh/serangan pertama dan rekurensi (long term relapse) disebablan oleh parasit pada siklus eksoeritrositer masuk ke dalam darah dan menjadi banyak biasanya timbul 6 bulan setelah penyakit sembuh.
Russel P.F. tahun 1963 menyatakan bahwa kekambuhan (Relapse atau Rechute) ialah berulangnya gejala klinik atau parasetemia yang lebih lama dari waktu di antara serangan periodic dari infeksi primer. Istilah relapse dipakai untuk menyatakan berulangnya gejala klinik setelah periode yang lama dari masa latent, sampai 5 tahun, biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk di luar eritrosit (hati), kekambuhan (relapse) malaria dapat digolongkan pada kekambuhan klinis atau kekambuhan parasit. Kekambuhan klinis adalaj adanya serangan klinis, terjadi tanpa disertai adanya reinfeksi. Sedangkan kekambuhan parasit adalah timnulnya kembali atau terjadinya peningkatan jumlah parasit yang terjadi sesudah periode subpatency atau parasetemia.
Reinfeksi adalahinfeksi kedua oleh agen patogenik yang sama atau infeksi kedua pada suatu organ misalnya ginjal oleh agen patogenik yang berlainan (Haryono R.M., 1994).
Plasmodium vivax atau P. ovale pada siklus parasit di jaringan hati (sizon jaringan), sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan sikulusnya ke siklus eritrositer tetapi tertanam di jaringan hati yang disebut hipnosit, dan bentuk hipnosit inilah yang menyebabkan malaria. Penderita yang mengandung hipnosit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah, sibuk, stress, atau perubahan iklim (musim hujan) maka hipnosit akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari dalam sel ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul gejala penyakitnya kembali. Misalnya 1-2 tahun yang sebelumnya pernah menderita menderita P. vivax/P.ovale dan sembuh setelah diobati, jika suatu saat orang tersebut pindah ke daerah bebas malaria dan tidak ada nyamuk malaria, dalam keadaan kelelahan/stress maka gejala malaria muncul kembali dan bila diperiksa sediaan darahnya akan positif P.vivax atau P. ovale (Departemen Kesehatan RI, 1991).
Umur :
Anak-anak lebih rentan terhadap infeksi parasit malaria, terutama pada anak dengan gizi buruk (Rampengan T.H., 2000). Infeksi akan berlangsung lebih hebat pada usia muda atau sangat muda karena belum matangnya system imun pada usia muda sedangkan pada usia tua disebabkan oleh penurunan daya tahan tubuh misalnya oleh karena penyakit penyerta seperti Diabetes Melitus (Weir D.M., 1987). Perbedaan angka kesakitan malaria pada berbagai golongan umur selain dipengaruhi oleh faktor kekebalan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti pekerjaan , pendidikan dan migrasi penduduk (Departemen Kesehatan RI,2000).
Jenis kelamin
Perbedaan angka kesakitan malaria pada anak laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, migrasi penduduk dan lain-lain (Departemen Kesehatan., RI 1991).
Kelelahan :
Salah satu akibat dari aktivitas fisik yang berlebihan adalah terjadinya kelelahan. Keleahan dapat mempengaruhi fungsi hati dan limpa dalam pembentukan limfosit B yang diperlukan dalam pembentukan atau reaksi imunologi. Keadaan ini hingga dapat mengaktipkan kembali parasit yang ada dalam sel hati atau sebagai hipnosit.
Stess
Pengaruh stress pada penderita adalah melalui hypothalamus akan kehilangan hormoncorticotrophin dan berakibat terganggunya metabolisme karbohidart dan lemak pada hati. Sehingga pembentukan immunoglobin (antibody) seperti IgG, IgA, IgM,IgD, IgE dan gama glubolin dari limfosit B sebagai produk hepar mengalami gangguan.
Kebiasaan
Kebiasaan sangat berpengaruh terhadap penyebaran malaria. Misalnya kebiasaan tidak menggunakan kelambu saaat tidur dan senang berada diluar rumah pada malam hari. Seperti pada penelitian di Mimiki Timur, Irian Jaya ditemukan bahwa kebiasaan penduduk menggunakan kelambu masih rendah (Suhardja, 1997)
Status gizi :
Status gizi ternyata berinteraksi secara sinergis dengan daya tahan tubuh. Makin baik status gizi seseorang, makin tidak mudah orang tersebut terkena penyakit . Dan sebaliknya makin rendah status gizi seseorang makin mudah orang tersebut terkena penyakit (Nursanyoto, 1992).
Pada banyak penyakit menular terutama yang dibarengi dengan dengan demam, terjadi banyak kehilangan nitrogen tubuh. Nitorgen tubuh diperoleh dari perombakan protein tubuh. Agar seseorang pulih pada keadaan kesehatan yang normal, diperlukan peningkatan dalam protein makanan. Penting diperhatikan pula bahwa fungsi dari dari semua pertahanan tubuh membutuhkan kapasitas sel-sel tubuh untuk membentuk protein baru. Inilah sebabnya maka setiap defesiensi atau ketidak seimbangan zat makanan yang mempengaruhi setiap system protein dapat pula menyebabkan gangguan fungsi beberapa mekanisme pertahanan tubuih sehingga pada umumnya melemahkan resistensi host. Malnutrisi selalu menyebabkan peningkatan insiden penyakit-penyakit infeksi dan terhadap penyakit yang sudah ada dapat meningkatkan keparahannya (Maria, 1992).
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan salah satu cara untuk memantau keadaan gizi (status gizi) bagi orang dewasa. Dengan IMT akan diketahui apakah seseorang dewasa tersebut normal, kurus atau gemuk (Departemen Kesehatan RI., 1995).
Nilai BMI dihitung berdasarkan rumus sbb :
Berat badan (Kg)
BMI =
(Tinggi badan dalam m)
Tabel 1
Klasifikasi Stutus Gizi Berdasarkan Nilai BMI
Kategori BMI (Kg/m2)
Kurus
Normal
Gemuk Tingkat berat
Tingkat ringan
Tingkat berat
Tingkat ringan
18,5-25,0
25,0-27,0
> 27,0
Sumber : Departemen Kesehatan RI., 1995
Daya tahan tubuh
Immunitas ini merupakan suatu pertahanan tubuh. Masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria biasanya mempunyai imunitas yang alami sehingga mempunyai pertahanan alam terhadap infeksi malaria.
Imunitas terhadap malaria sangat kompleks karena melibatkan hampir seluruh komponen system imun baik imunitas spesifik maupun imunitas non spesifik, imunitas humoral maupun imunitas seluler yang timbul secara alamiah maupun didapat sebagai infeksi . Kekebalan alamiah terhadap malaria sebagian besar merupakan mekanisme non imunologis berupa kelainan genetic pada eritrosit atau hemoglobin.
Pada tahun 1949, Haldane JS. Menyatakan bahwa tingginya angka kejadian kelainan-kelainan genetic Hb di daerah endemis malaria mungkin merupakan tanggapan alamiah dalam upaya memberi perlindungan terhadap malaria. Pada penderita dengandefiiensi glukosa-6 phosphat dehidrogenase (G6PD) memiliki perlindungan terhadap malaria hanya tampak pada wamita heterozigot. Kekanismenya belum jelas, kemungkinan karena parasit harus beradaptasi untuk tumbuh pada 2 populasi eritrosit dengan defisiensi G6PD dan eritrosit dengan enzim normal, hal ini akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan parasit.
Orang yang terinfeksi malaria sebelumnya biasanya akan terbentuk imunitas sehingga lebih tahan terhadap infeksi malaria. Contohnya penduduk asli daerah endemik akan lebih tahan terhadap infeksi malaria dibandingkan dengan transmigran yang dating dari daerah non endemis.
Peranan antibody sangat penting dalam perlindungan terhadap infeksi malaria, dibuktikan dari penelitian Cohen pada tahun 1961 di Afrika yang melaporkan bahwa pemberian dosis tinggi IgD yang berasal dari orang dewasa imun atau dari tali pusat bayi yang baru lahir kepada anak-anak penderita malaria akan dapat menurunkan parasetemia dan memberikan perbaikan klinis serta dapat mencegah infeksi. Hasil yang sama didapat dari penelitian Sabchareon dkk dengan pemberian IgD dari penduduk yang imun di Afrika kepada penderita malaria rekrudesen dewasa di Thailand.
Sarana pertahanan tubuh terhadap malaria dengan cara melakukan filtrasi atas sel-sel eritrosit yang diinfeksi plasmodium dapat terjadi di organ limpa P. falcifarum, juga telah diteliti oleh Looareesuwan, S., dkk (1987) dan didapatkan bahwa penderita infeksi malaria yang disertai dengan splenomegali terjadi peningkatan filtrasi tersebut dan mekanisme sangat mungkin ditujukan untuk menyingkirkan sel-sel eritrosit yang diinfeksi plasmodium tersingkir akan membawa konsekuensi terjadinya anemia yang semakin berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar