Senin, 28 November 2011

Asuhan Keperawatan Multipel Fraktur

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MULTIPEL FRAKTUR



I. Pengertian.
Adalah terputuisnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berubah trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berubah trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
Akibat trauma pada tulang tergantuing pada jenis trauma,kekuatan, dan arahnya.Taruma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ketulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang yang didekat sendi atau yang mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.

III. Patofisiologi.
Patah Tulang

Beban lama / Trauma ringan yang kontinyu

Terbuka Tertutup

Infeksi Potensial infeksi,adanya emboli lemak dari fraktur tulang panjang & sindroma kompatemen .

Trauma Penetrasi

Perdarahan Cidera Vaskuler Trombosis Pembuluh

Komplikasi

Penyebab kematian dini Penyebab lambat kematian(Stl 3 hr)


Hemoragi & Cidera Kepala Gangguan Organ Multipel Sepsis


Terjadi ARDS & DIC Pelepasan Toksin


Syok Hipovolemik Dilatasi pemb. Darah


Penurunan Perfusi organ Terkumpulnya Venosa

Peningkatan Curah jantung Penurunan tahanan
Vaskular sistemik


Penurunan Curah Jantung,Tensi, Perfusi

Syok Sepsis




( Tirah baring, Ulkus, Emboli pulmunal, penyusutan Otot )


IV. Klasifikasi patah tulang.
Patah tulang dapat dibagi menurut ada tidanya hubungan antara patahan tulang denga dunia luar, yaitu patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk kedalam luka sampai ke tulang yang patah.
Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya patah tulang.
Patang tulang juga dapat dibagi menurut garis fraktrunya misanya fisura, patah tulang sederhana, patah tulang kominutif ( pengecilan, patah tulang segmental,patah tulang impaksi ), patah tulang kompresi, impresi dan patah tulang patologis.
Derajat patah tulang terbuka terbagi atas 3 macam yaitu :
1. laserasi
2. Laserasi > 2 cm kontusi otot diserkitarnya bentuknya dislokasi, fragmen jelas
3. Luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan disekitarnya bentuknya kominutif, segmental,fragmen tulang ada yang hilang
Jenis patah tulang dapat digolongkan menjadi :
1. Visura ( Diafisis metatarsal
2. Serong sederhana ( Diaphisis metacarpal )
3. Lintang sederhana ( diafisis tibia )
4. Kominutif ( Diafisis femur )
5. Segmental ( Diafisis tibia )
6. Dahan hijau ( diafisis radius pada anak )
7. Kompresi ( Korpus vertebral th. XII )
8. Impaksi ( epifisis radius distal,kolum femur lateral )
9. Impresi ( tulang tengkorak )
10. Patologis ( Tomur diafisi humerus,kurpus vertebral)


V. Komplikasi patah tulang .
Komplikasi patah tulang meliputi :
1. Komplikasi segera
Lokal :
Kulit( abrasi l;acerasi, penetrasi)
Pembuluh darah ( robek )
Sistem saraf ( Sumssum tulang belakang, saraf tepi motorik dan sensorik)
Otot
Organ dalam ( jantung,paru,hepar, limpha(pada Fr.kosta),kandung kemih (Fr.Pelvics)
Umum :
Ruda paksa multiple
Syok ( hemoragik, neurogenik )
2. Komplikas Dini :
Lokal :
Nekrosis kulit, gangren, sindroma kopartemen,trombosis vena, infeksi sendi,osteomelisis )
Umum :
ARDS,emboli paru, tetanus.
3. Kompliasi lama
Lokal :
Sendi (ankilosis fibrosa, ankilosis osal )
Tulang ( gagal taut/lama dan salah taut,distropi reflek,osteoporosisi paskah trauma,ggn pertumbuhan,osteomelisis,patah tulang ulang)
Otot atau tendon ( penulangan otot, ruptur tendon )
Saraf ( kelumpuhan saraf lambat
Umum :
Batu ginjal ( akibat mobilisasi lama ditempat tidur)

VI. Penatalaksanaan patah tulang.
Penatalaksanaan patah tulang mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya yang meliputi :
a. Jangan ciderai pasien( Primum Non Nocere).
b. Pengobatan yang tepat berdasarkanb diagnosis dan prognosisnya
c. Sesuai denga hokum alam
d. Sesuai dengan kepribadian individu
Khusus untuk patah tulang meliputi :
4. Reposisi
5. Imobilisasi
6. Mobilisasi berupa latihan seluruh system tubuh.

VII. Asuhan keperawatan.

ASUHAN KEPERAWATAN
1. Riwayat perjalanan penyakit.
2. Riwayat pengobatan sebelumnya.
3. Pertolongan pertama yang dilakukan

4. Pemeriksaan fisik :
Identifikasi fraktur
Inspeksi
Palpasi (bengkak, krepitasi, nadi, dingin)
Observasi spasme otot.

5. Pemeriksaan diagnostik :
Laboratorium (HCt, Hb, Leukosit, LED)
RĂ–
CT-Scan

6. Obat-obatan : golongan antibiotika gram (+) dan gram (-)
Penyakit yang dapat memperberat dan mempermudah terjadinya fraktur :
a. Osteomyelitis acut
b. Osteomyelitis kronik
c. Osteomalacia
d. Osteoporosis
e. Gout
f. Rhematoid arthritis
PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL
DATA SUBYEKTIF
Data biografi
Adanya nyeri, kekakuan, kram, sakit pinggang, kemerahan, pembengkakan, deformitas, ROM, gangguan sensasi.

Cara PQRST :
o Provikatif (penyebab)
o Quality (bagaimana rasanya, kelihatannya)
o Region/radiation (dimana dan apakah menyebar)
o Severity (apakah mengganggu aktivitas sehari-hari)
o Timing (kapan mulainya)

Pengkajian pada sistem lain
o Riwayat sistem muskuloskeletal, tanyakan juga tentang riwayat kesehatan masa lalu.
o Riwayat dirawat di RS
o Riwayat keluarga, diet.
o Aktivitas sehari-hari, jenis pekerjaan, jenis alas kaki yang digunakan
o Permasalahan dapat saja baru diketahui setelah klien ganti baju, membuka kran dll.

DATA OBYEKTIF
Inspeksi dan palpasi ROM dan kekuatan otot
Bandingakan dengan sisi lainnya.
Pengukuran kekuatan otot (0-5)
Duduk, berdiri dan berjalan kecuali ada kontra indikasi.
Kyposis, scoliosis, lordosis.

PROSEDUR DIAGNOSTIK
1. X-ray dan radiography
2. Arthrogram (mendiagnosa trauma pada kapsul di persendian atau ligamen). Anestesi lokal sebelum dimasukkan cairan kontras/udara ke daerah yang akan diperiksa.
3. Lamnograph (untuk mengetahui lokasi yang mengalami destruksi atau mengevaluasi bone graf).
4. Scanograph (mengetahui panjang dari tulang panjang, sering dilakukan pada anak-anak sebelum operasi epifisis).
5. Bone scanning (cairan radioisotop dimasukkan melalui vena, sering dilakukan pada tumor ganas, osteomyelitis dan fraktur).
6. MRI
7. Arthroscopy (tindakan peneropongan di daerah sendi)
8. Arthrocentesis (metode pengambilan cairan sinovial)

MASALAH-MASALAH YANG UMUM TERJADI
1. Gangguan dalam melakukan ambulasi.
Berdampak luas pada aspek psikososial klien.
Klien membutuhkan imobilisasi → menyebabkan spasme otot dan kekakuan sendi
Perlu dilakukan ROM untuk menguragi komplikasi :
- Kaki (fleksi, inverse, eversi, rotasi)
- Pinggul (abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi)
- Lutut (ekstensi)
- Jari-jari kaki (ektensi, fleksi)

2. Nyeri; tindakan keperawatan :
Merubah posisi pasien
Kompres hangat, dingin
Pemijatan
Menguragi penekanan dan support social

Apabila nyeri di sendi, perlu dikaji :
- Kejadian sebelum terjadinya nyeri
- Derajat nyeri pada saat nyeri pertama timbul
- Penyebaran nyeri
- Lamanya nyeri
- Intensitas nyeri, apakah menyertai pergerakan
- Sumber nyeri
- Hal-hal yang dapat mengurangi nyeri.

3. Spasme otot
Spasme otot (kram/kontraksi otot involunter)
Spasme otot dapat disebabkan iskemi jaringan dan hipoksia.

Tindakan keperawatan :
a. Rubah posisi
b. Letakkan guling kecil di bawah pergelangan kaki dan lutut
c. Berikan ruangan yang cukup hangat
d. Hindari pemberian obat sedasi berat → dapat menurunkan aktivitas pergerakan selama tidur
e. Beri latihan aktif dan pasif sesuai program

INTERVENSI
1. Istirahat
Istirahat adalah intervensi utama
Membantu proses penyembuhan dan meminimalkan inflamasi, pembengkakan dan nyeri.
Pemasangan bidai/gips.

1. Kompres hangat
Rendam air hangat/kantung karet hangat
Diikuti dengan latihan pergerakan/pemijatan

Dampak fisiologis dari kompres hangat adalah :
o Perlunakan jaringan fibrosa
o Membuat relaks otot dan tubuh
o Menurunkan atau menghilangkan nyeri
o Meningkatkan suplai darah/melancarkan aliran darah.

2. Kompres dingin
Metoda tidak langsung seperti cold pack
Dampak fisiologis adalah vasokonstriksi dan penerunan metabolic
Membantu mengontrol perdarahan dan pembengkakan karena trauma
Nyeri dapat berkurang, dapat menurunkan aktivitas ujung saraf pada otot
Harus hati-hati, dapat menyebabkan jaringan kulit nekrosis
Tidak sampai > 30 menit.



DAFTAR PUSTAKA

1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC
4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC

Asuhan Keperawatan Penyakit Jantung Rematik

ASUHAN KEPERAWATAN
PENYAKIT JANTUNG REMATIK


I. DEFINISI
Demam Reumatik / penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum.

II. ETIOLOGI
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Penyakit ini berhubungan erat dengan infeksi saluran nafas bagian atas oleh Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A berbeda dengan glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi streptococcus dikulit maupun disaluran nafas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi streptococcus dikulit.
Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan penyakit jantung reumatik terdapat pada individunya sendiri serta pada keadaan lingkungan.

Faktor-faktor pada individu :
1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus
2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
5. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
6. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever
Faktor-faktor lingkungan :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.

III. PATOGENESIS
Demam reumatik adalah penyakit radang yang timbul setelah infeksi streptococcus golongan beta hemolitik A. Penyakit ini menyebabkan lesi patologik jantung, pembuluh darah, sendi dan jaringan sub kutan. Gejala demam reumatik bermanifestasi kira-kira 1 – 5 minggu setelah terkena infeksi. Gejala awal, seperti juga beratnya penyakit sangat bervariasi. Gejala awal yang paling sering dijumpai (75 %) adalah arthritis. Bentuk poliarthritis yang bermigrasi. Gejala dapat digolongkan sebagai kardiak dan non kardiak dan dapat berkembang secara bertahap.
Demam reumatik dapat menyerang semua bagian jantung. Meskipun pengetahuan tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam remautik termasuk dalam penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, difosforidin nukleotidase, dioksiribonuklease serta streptococcal erytrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.
Pada penderita yang sembuh dari infeksi streptococcus, terdapat kira-kira 20 sistem antigen-antibodi; beberapa diantaranya menetap lebih lama daripada yang lain. Anti DNA-ase misalnya dapat menetap beberapa bulan dan berguna untuk penelitian terhadap penderita yang menunjukkan gejala korea sebagai manifestasi tunggal demam reumatik, saat kadar antibodi lainnya sudah normal kembali.
ASTO ( anti-streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik / penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikkan titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap streptococcus, maka pada 95 % kasus demam reumatik / penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap streptococcus.
Patologi anatomis
Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan proliferasi jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung; organ lain seperti sendi, kulit, paru, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena tetapi selalu reversibel. Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria jones yang dimodifikasi dari American Heart Association. Dua kriteria mayor dan satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik. Prognosis tergantung pada beratnya keterlibatan jantung.

IV. MANIFESTASI KLINIK
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium.
Stadium I
Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A.
Keluhan :
Demam
Batuk
Rasa sakit waktu menelan
Muntah
Diare
Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode ini berlangsung 1 - 3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
Stadium III
Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Gejala peradangan umum :
Demam yang tinggi
lesu
Anoreksia
Lekas tersinggung
Berat badan menurun
Kelihatan pucat
Epistaksis
Athralgia
Rasa sakit disekitar sendi
Sakit perut

Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium darah
Foto rontgen menunjukkan pembesaran jantung
Elektrokardiogram menunjukkan aritmia E
Echokardiogram menunjukkan pembesaran jantung dan lesi

V. DIAGNOSIS PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosa demam reumatik dapat digunakan Kriteria Jones yaitu :
Kriteria mayor :
Poliarthritis
Pasien dengan keluhan sakit pada sendi yang berpindah-pindah, radang sendi-sendi besar; lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan , siku (poliarthritis migrans).
Karditis
Peradangan pada jantung (miokarditis, endokarditis).
Eritema marginatum
Tanda kemerahan pada batang tubuh dan telapak tangan yang tidak gatal.
Noduli subkutan
Terletak pada ekstensor sendi terutama siku, ruas jari, lutut, persendian kaki; tidak nyeri dan dapat bebas digerakkan.
Korea sydenham
Gerakkan yang tidak disengaja /gerakkan yang abnormal, sebagai manifestasi peradangan pada sistem syaraf pusat.

Kriteria Minor :
Mempunyai riwayat menderita demam reumatik /penyakit jantung reumatik
Athralgia atau nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi; pasien kadang-kadang sulit menggerakkan tungkainya
Demam tidak lebih dari 39 derajad celcius
Leukositosis
Peningkatan Laju Endap Darah (LED)
C-Reaktif Protein (CRF) positif
P-R interval memanjang
Peningkatan pulse denyut jantung saat tidur (sleeping pulse)
Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO)
Diagnosa ditegakkan bila ada dua kriteria mayor dan satu kriteria minor, atau dua kriteria minor dan satu kriteria mayor.
Bukti-bukti infeksi streptococcus :
Kultur positif
Ruam skarlatina
Peningkatan antibodi streptococcus yang meningkat

VI. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan penatalaksanaan medis adalah :
Memberantas infeksi streptococcus
Mencegah komplikasi karditis
Mengurangi rasa sakit; demam
Pemberantasan infeksi streptococcus :
Pemberian penisilin benzatin intramuskuler dengan dosis :
Berat badan lebih dari 30 kg  1,2 juta unit
Berat badan kurang dari 30 kg  600.000 - 900.000 unit
Untuk pasien yang alergi terhadap penisilin diberikan eritromisin dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis pemberian selama kurang lebih 10 hari.
Pencegahan komplikasi karditis :
Pemberian penisilin benzatin setiap satu kali sebulan untuk pencegahan sekunder menurut The American Asosiation
Tirah baring bertujuan untuk mengurangi komplikasi karditis dan mengurangi beban kerja jantung pada saat serangan akut demam reumatik
Bila pasien ada tanda-tanda gagal jantung maka diberikan terapi digitalis 0,04 – 0,06 mg/kg BB.
Mengurangi rasa sakit dan anti radang :
Pasien diberi analgetik untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Salisilat diberikan untuk anti radang dengan dosis 100 mg/kg BB/hari selama kurang lebih dan 25 mg/kg BB/hari selama satu bulan.
Prednison diberikan selama kurang lebih dua minggu dan tapering off (dikurangi bertahap) Dosis awal prednison 2 mg/kg BB/hari.
Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria jones yang dimodifikasi dari American Heart Association. Dua kriteria mayor dan satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik. Prognosis tergantung pada beratnya keterlibatan jantung.













ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
PENYAKIT JANTUNG REUMATIK


A. PENGKAJIAN
Tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data tentang :
Fungsi jantung
Toleransi terhadap aktivitas dan sikap klien terhadap pembatasan aktivitas
Status nutrisi
Tingkat ketidaknyamanan
Gangguan tidur
Kemampuan klien mengatasi masalah
Hal-hal yang dapat membantu klien
Pengetahuan orang tua dan pasien (sesuai usia pasien) tentang pemahaman pasien
Pengkajian
Riwayat penyakit
Monitor komplikasi jantung
Auskultasi jantung; bunyi jantung melemah dengan irama derap diastole
Tanda-tanda vital
Kaji adanya nyeri
Kaji adanya peradangan sendi
Kaji adanya lesi pada kulit

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan stenosis katub
Tujuan : COP meningkat
Kriteria :
- Klien menunjukan penurunan dyspnea
- Ikut berpartisipasi dalam aktivitas serta mendemonstrasikan peningkatan toleransi

Intervensi :
a. Pantau tekanan darah, nadi apikal dan nadi perifer
b. Pantau irama dan frekuensi jantung
c. Tirah baring posisi semifowler 450
d. dorong klien melakukan tehnik managemen stress ( lingkungan tenang, meditasi )
e. bantu aktivitas klien sesuai indikasi bila klien mampu
f. kolaborasi O2 serta terapi

2. Intoleransi aktivitas b.d penurunan cardiac output, ketidakseimbangan suplai O2 dan kebutuhan
Tujuan : Klien dapat bertoleransi secara optimal terhadap aktivitas
Kriteria :
- Respon verbal kelelahan berkurang
- Melakukan aktivitas sesuai batas kemampuannya ( denyut nadi aktivitas tidak boleh lebih dari 90X/menit, tidak nyeri dada )
Intervensi :
a. Hemat energi klien selama masa akut
b. Pertahankan tirah baring sampai hasil laborat dan status klinis membaik
c. Sejalan dengan semakin baiknya keadaan, pantau peningkatan bertahap pada tingkat aktivitas
d. Buat jadwal aktivitas dan istirahat
e. Ajarkan untuk berpartisipasi dalam aktivitas kebutuhan sehai-hari
f. Ajarkan pada anak /orang tua bahwa pergerakkan yang tidak disadari adalah dihubungkan dengan korea dan temporer.
g. Bila terjadi chorea, lindungi dari kecelakaan, bedrest dan berikan sedasi sesuai program

3. Nyeri b.d respon inflamasi pada sendi (poliarthritis).
Tujuan : tidak terjadi rasa nyeri pada klien
Kriteria :
- Nyeri klien berkurang
- Klien tampak rileks
- Ekspresi wajah tidak tegang
- Klien dapat merasakan nyaman, tidur dengan tenang dan tidak merasa sakit
Intervensi :
a. Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala
b. Berikan tindakan kenyamanan ( perubahan posisi sering lingkungan tenang, pijatan pungung dan tehnik manajemen stress)
c. Minimalkan pergerakkan untuk mengurangi rasa sakit
d. Berikan terapi hangat dan dingin pada sendi yang sakit
e. Lakukan distraksi misalnya : tehnik relaksasi dan hayalan
f. Pemberian analgetik, anti peradangan dan antipiretik sesuai program.
g. Rujuk ke terapi fisik sesuai persetujun medik

4. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah, rasa sakit waktu menelan dan peradangan pada tonsil disertai eksudat.
Tujuan : tidak terjadi penurunan nutrisi pada klien
Kriteria :
- Nafsu makan klien bertambah
- Klien tidak merasa mual, muntah
- Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi :
a. Beri makan sedikit tapi sering (termasuk cairan)
b. Masukkan makanan kesukaan anak dalam diet
c. Anjurkan untuk makan sendiri, bila mungkin (kelemahan otot dapat membuat keterbatasan)
d. Memilih makanan dari daftar menu
e. Atur makanan secara menarik diatas nampan
f. Atur jadwal pemberian makanan
g. Berikan makanan yang bergizi tinggi dan berkualitas.

5. kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya filtrasi glomerulus, retensi natrium dan air, meningkatnya tekanan hidrostatik
Tujuan : volume cairan seimbang
Kriteria :
- Volume cairan stabil, dengan keseimbangan masukan dan pengeluarn
- Tidak terdapat odema
Intervensi :
- Pantau haluaran urine, catat jumlah dan warna
- Pantau keseimbanagn masukan dan pengeluaran selama 24 jam
- Berikan makanan yang mudah dicerna porsi kecil, sering
- Ukur lingkar abdomen sesuai indikasi
- Kolaborasi pemberian diuretik

6. Pola pernafasan tak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria Hasil :
- Frekuensi nafas dan kedalaman dalam rentang normal
Intervensi :
- Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada, catat pernafasan/upaya pernafasan
- Auskultasi bunyi nafas dan catat bunyi nafas
- Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
- Kolaborasi terapi O2
-
7. Kurangnya pengetahuan orang tua / anak b.d pengobatan, pembatasan aktivitas, resiko komplikasi jantung.
Tujuan : pengetahuan orang tua /anak bertambah
Kriteria :
- Orang tua mengetahui tentang proses penyakit dan efek dari penyakit
- Orang tua mau berpartisipasi dalam program pengobatan
- Orang tua mengetahui pentingnya pembatasan aktifitas pada anak
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung untuk mengetahui adanya perubahan irama
b. Pemberian antibiotik sesuai program
c. Pembatasan aktivitas sampai manifestasi klinis demam reumatik tidak ada dan berikan periode istirahat
d. Berikan terapi bermain yang sesuai dan tidak membuat lelah.

8. Perubahan proses keluarga b.d kondisi penyakit anak.
Tujuan :
- Mempersiapkan keluarga untuk dapat merawat anak dengan penyakit demam reumatik / jantung reumatik
- Keluarga dapat beradaptasi dengan penyakitnya
Kriteria :
Keluarga dapat mengatasi masalah yang timbul dari adanya tanda dan gejala yang muncul dan memberikan atau menyediakan lingkungan yang sesuai dengan anak.
Intervensi :
a. Berikan dukungan emosional pada keluarga dan anak
b. Anjurkan orang tua untuk mengekspresikan perasaannya
c. Anjurkan anak untuk berbagi rasa tidak berdaya, malu, ketakutan yang berkaitan dengan manifestasi penyakit (misal: korea, karditis dan kelemahan otot)
d. Bertindak sebagai pembela dan penghubung anak dan keluarga dengan anggota tim perawatan kesehatan lainnya
e. Anjurkan anak untuk berhubungan dengan teman sebaya
f. Dorong keterlibatan anak dalam aktivitas rekreasi dan aktivitas pengalih yang sesuai dengan usia.

Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Endokrin; Morbus Basedow

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: MORBUS BASEDOW

1. KONSEP PENYAKIT MORBUS BASEDOW
a. Pengertian
Penyakit basedow atau lazim juga disebut sebagai penyakit graves merupakan penyakit yang sering dijumpai pada orang muda akibat daya peningkatan produksi tiroid yang ditandai dengan peningkatan penyerapan yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid.
b. Etiologi
Diduga akibat peran antibodi terhadap peningkatan produksi tiroid serta adanya adenoma tiroid setempat (suatu tumor) yang tumbuh di dalam jaringan tiroid dan ensekresikan banyak sekali hormon tiroid.
c. Patofisiologi
Hipothalamus Hormon pelepas (tirotropin)

Hipofisis anterior Hormon perangsang tiroid (TSH)

Tiroid Hipertrofi Peningkatan sekresi Yodium

Tirotoksin Peningkatan metabolisme Antibodi imunoglobulin
Adenoma tiroid setempat

Hipertiroid

Peningkatan kebutuhan kalori

Peningkatan sirkulasi darah Resiko penurunan curah jantung
Resiko perubahan nutrisi (-) kebutuhan tubuh
Kelelahan otot
Resiko kerusakan integritas jar. mata

Sumber: Guyton and Hall (1997)

Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyaknya hiperplasia dan lipatan – lipatan sel – sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel – sel ini lebih meningkat berapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat.
Perubahan pada kelenjar tiroid ini mirip dengan perubahan akibat kelebihan TSH. Pada beberapa penderita ditemukan adaya beberapa bahan yang mempunyai kerja mirip dengan TSH yang ada di dalam darah. Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi imunoglobulin yang berikatan dengan reseptor membran yang sama degan reseptor membran yang mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi terus – menerus dari sistem cAMP dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme.

d. Gambaran Klinik
1) Berat badan menurun 10) Dispnea
2) Eksoftalmus. 11) Berkeringat
3) Palpitasi, takikardia. 12) Diare
4) Nafsu makan meningkat. 13) Kelelahan otot
5) Tremor (jari tangan dan kaki) 14) Oligomenore/amenore
6) Telapak tangan panas dan lembab
7) Takikardia, denyut nadi kadang tidak teratur karena fibrilasi atrium, pulses seler
8) Gugup, mudah terangsang, gelisah, emosi tidak stabil, insomnia.
9) Gondok (mungkin disertai bunyi denyut dan getaran).

e. Penanggulangan
Terapi penyakit graves dtujukan kepada pengendalian stadium tirotoksikosis dengan pemberian antitiroid seperti propiltiourasil (PTU) atau karbimasol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan antitiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radioaktif atau tiroidektomi subtotal bilateral.
Indikasi tindakan bedah adalah:
1) perlu mencapai hasil definitif cepat. 4) Struma multinoduler dengan hipertiroidi
2) Keberatan terhadap antitiroid 5) Nodul toksik soliter.
3) Penanggulangan dengan antitiroid tidak memuaskan

2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MORBUS BASEDOW
a. Pengkajian
Data dasar pada pengkajian pasien dengan morbus basedow adalah:
1) Aktivitas/istirahat
a) Gejala: insomnia, sensitivitas meningkat, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat.
b) Tanda: Atrofi otot.
2) Sirkulasi
a) Gejala: palpitasi, nyeri dada (angina).
b) Tanda: disritmia (Fibrilasi atrium), irama gallop, murmur, peningkatan tekanan darah dengan tekanan nada yang berat, takikardia saat istirahat, sirkulasi kolaps, syok (krisis tirotoksikosis).
3) Eliminasi
a) Gejala: urine dalam jumalh banyak, perubahan dalam feses (diare).
4) Integritas ego
a) Gejala: Mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik.
b) Tanda: Emosi labil (euforia sedang sampai delirium), depresi.
5) Makanan/cairan
a) Gejala: Kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah.
b) Tanda: Pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial.
6) Neurosensori
a) Tanda: Bicaranya cepat dan parau, gangguan status mental dan perilaku, seperti: bingung, disorientasi, gelisah, peka rangsang, delirium, psikosis, stupor, koma, tremor halus pada tangan, tanpa tujuan, beberapa bagian tersentak – sentak, hiperaktif refleks tendon dalam (RTD).
7) Nyeri/kenyamanan
a) Gejala: nyeri orbital, fotofobia.
8) Pernafasan
a) Tanda: frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).
9) Keamanan
a) Gejala: tidak toleransi teradap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan).
b) Tanda: suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan emerahan, rambut tipis, mengkilat, lurus, eksoftalmus: retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.
10) Seksualitas
a) Tanda: penurunan libido, hipomenore, amenore dan impoten.
11) Penyuluhan/pembelajaran
a) Gejala: adanya riwayat keluarga yang mengalami masalah tiroid, riwayat hipotiroidisme, terapi hormon toroid atau pengobatan antitiroid, dihentikan terhadap pengobatan antitiroid, dilakukan pembedahan tiroidektomi sebagian, riwayat pemberian insulin yang menyebabkan hipoglikemia, gangguan jantung atau pembedahan jantung, penyakit yang baru terjadi (pneumonia), trauma, pemeriksaan rontgen foto dengan kontras.

12) Pemeriksaan diagnostik
a) Tes ambilan RAI: meningkat.
b) T4 dan T3 serum: meningkat
c) T4 dan T3 bebas serum: meningkat
d) TSH: tertekan dan tidak berespon pada TRH (tiroid releasing hormon)
e) Tiroglobulin: meningkat
f) Stimulasi TRH: dikatakan hipertiroid jika TRH dari tidak ada sampai meningkat setelah pemberian TRH
g) Ambilan tiroid131: meningkat
h) Ikatan proein iodium: meningkat
i) Gula darah: meningkat (sehubungan dengan kerusakan pada adrenal).Kortisol plasma: turun (menurunnya pengeluaran oleh adrenal).
j) Fosfat alkali dan kalsium serum: meningkat.
k) Pemeriksaan fungsi hepar: abnormal
l) Elektrolit: hiponatremi mungkin sebagai akibat dari respon adrenal atau efek dilusi dalam terapi cairan pengganti, hipokalsemia terjadi dengan sendirinya pada kehilangan melalui gastrointestinal dan diuresis.
m) Katekolamin serum: menurun.
n) Kreatinin urine: meningkat
o) EKG: fibrilasi atrium, waktu sistolik memendek, kardiomegali.

b. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b/d hipertiroid tidak terkontrol, keadaan hipermetabolisme; peningkatan beban kerja jantung; , perubahan dalam arus balik vena dan tahan vaskuler sistemik; perubahan frekuensi, irama dan konduksi jantung.
2) Kelelahan b/d hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan energi; peka rangsang dari saraf sehubungan dengan gangguan kimia tubuh.
Data penunjang: mengungkapkan sangat kekurangan energi untuk mempertahankan rutinitas umum, penurunan penampilan, labilitas/peka rangsang emosional, gugup, tegang, perilaku gelisah, kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi.
3) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan metabolisme (peningkatan nafsu makan/pemasukan dengan penurunan berat badan); mual muntah, diare; kekurangan insulin yang relatif, hiperglikemia.
4) Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas jaringan b/d perubahan mekanisme perlindungan dari mata; kerusakan penutupan kelopak mata/eksoftalmus.

c. Perencanaan
1) Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b/d hipertiroid tidak terkontrol, keadaan hipermetabolisme; peningkatan beban kerja jantung; , perubahan dalam arus balik vena dan tahan vaskuler sistemik; perubahan frekuensi, irama dan konduksi jantung.
Tujuan asuhan keperawatan: mempertahankan curah jantung yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh yang ditandai dengan tanda vital stabil, denyut nadi perifer normal, pengisisan kapiler normal, stauts mental baik, tidak ada disritmia.
Rencana tindakan dan rasional:
1. Mandiri
a) Pantau tekanan darah pada posisi baring, duduk dan berdiri jika memungkinkan. Perhatikan besarnya tekanan nadi.
Hipotensi umum atau ortostatik dapat terjadi sebagai akibat vasodilatasi perifer yang berlebihan dan penurunan volume sirkulasi. Besarnya tekanan nadi merupakan refleksi kompensasi dari peningkatan isi sekuncup dan penurunan tahanan sistem pembuluh darah.
b) Pantau CVP jika pasien menggunakannya.
Memberikan ukuran volume sirkuasi yang langsung dan lebih akurat dan mengukur fungsi jantung secara langsung.
c) Periksa/teliti kemungkinan adanya nyeri dada atau angina yang dikeluhkan pasien.
Merupakan tanda adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh otot jantung atau iskemia.
d) Kaji nadi atau denyut jantung saat pasien tidur.
Memberikan hasil pengkajian yang lebih akurat terhadap adanya takikardia.
e) Auskultasi suara antung, perhatikan adanya bunyi jantung tambahan, adanya irama gallop dan murmur sistolik.
S1 dan murmur yang menonjol berhubungan dengan curah jantung meningkat pada keadaan hipermetabolik, adanya S3 sebagai tanda adanya kemungkinan gagal jantung.
f) Pantau EKG, catat dan perhatikan kecepatan atau irama jnatung dan adanya disritmia.
Takikardia merupakan cerminan langsung stimulasi otot jantung oleh hormon tiroid, dsiritmia seringkali terjadi dan dapt membahayakan fungsi antung atau curah jantung.
g) Auskultasi suara nafas, perhatikan adanya suara yang tidak normal.
Tanda awal terjadinya kongesti paru yang berhubungan dengan timbulnya gagal jantung.
h) Pantau suhu, berikan lingkungan yang sejuk, batasi penggunaan linen/pakaian, kompres dengan air hangat.
Demam terjadi sebagai akibat kadar hormon yang berlebihan dan dapat meningkatkan diuresis/dehidrasi dan menyebabkan peningkatan vasodilatasi perifer, penumpukan vena dan hipotensi.
i) Observasi tanda dan gejala haus yang hebat, mukosa membran kering, nadi lemah, pengisisan kapiler lambat, penurunan produksi urine dan hipotensi.
Dehidrasi yang cepat dapat terjadi yang akan menurunkan volume sirkulasi dan menurunkan curah jantung.
j) Catat masukan dan keluaran, catat berat jenis urine.
Kehilangan cairan yang banyak (melalui muntah, dare, diuresis, diaforesis) dapat menimbulkan dehidrasi berat, urine pekat dan berat badan menurun.
k) Timbang berat badan setiap hari, sarankan untuk tirah baring, batasi aktivitas yang tidak perlu.
Aktivitas akan meningkatkan kebutuhan metabolik/sirkulasi yang berpotensi menimbulkan gagal jantung.
l) Catat adanya riwayat asma/bronkokontriksi, kehamilan, sinus bradikardia/blok jantung yang berlanjut menjadi gagal jantung.
Kondisi ini mempengaruhi pilihan terapi (misal penggunaan penyekat beta-adrenergik merupakan kontraindikasi).
m) Observasi efek samping dari antagois adrenergik, misalnya penurunan nadi dan tekanan darah yang drastis, tanda – tanda adanya kongesti vaskular/CHF, atau henti jantung.
Satu indikasi untuk menurunkan atau menghentikan terapi.
2. Kolaborasi
a) Berikan cairan iv sesuai indikasi.
Pemberian cairan melalui iv dengan cepat perlu untuk memperbaiki volume sirkulasi tetapi harus diimbangi dengan perhatian terhadap tanda gagal jantung/kebutuhan terhadap pemberian zat inotropik.
b) Berikan O2 sesuai indikasi
Mungkin juga diperlukan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolisme/kebutuhan terhadap oksigen tersebut.

2) Kelelahan b/d hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan energi; peka rangsang dari saraf sehubungan dengan gangguan kimia tubuh.
Data penunjang: mengungkapkan sangat kekurangan energi untuk mempertahankan rutinitas umum, penurunan penampilan, labilitas/peka rangsang emosional, gugup, tegang, perilaku gelisah, kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi.
Tujuan asuhan keperawatan: Megungkapkan secara verbal tentang peningkatan tingkat energi, menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam melakukan aktifitas.
Rencana tindakan/rasional:
Mandiri:
a) Pantau tanda vital dan catat nadi baik saat istirahat maupun saat melakukan aktifitas.
Nadi secara luas meningkat dan bahkan saat istirahat, takikardia (di atas 160x/mnt) mungkin akan ditemukan.
b) Catat berkembangnya takipnea, dispnea, pucat dan sianosis.
Kebutuhan dan konsumsi oksigen akan ditingkatkan pada keadaan hipermetabolik, yang merupakan potensial akan terjadi hipoksia saat melakukan aktivitas.
c) Berikan/ciptakan lingkungan yang tenang, ruangan yang dingin, turunkan stimulasi sesori, warna – warna yang sejuk dan musik santai (tenang).
Menurunkan stimulasi yang kemungkinan besar dapat menimbulkan agitasi , hiperaktif dan insomnia.
d) Sarankan pasien untuk mengurangi aktifitas dan meningkatkan istirahat di tempat tidur sebanyak – banyaknya jika memungkinkan.
Membantu melawan pengaruh dari peningkatan metabolisme.
e) Berikan tindakan yang membuat pasien nyaman, seperti: sentuhan/masase, bedak yang sejuk.
Dapat menurunkan energi dalam saraf yang selanjutnya meningkatkan relaksasi.
f) Memberikan aktifitas pengganti yang menyenangkan dan tenang, seperti membaca, mendengarkan radio dan menonton televisi.
Memungkinkan unttk menggunakan energi dengan cara konstruktif dan mungkin juga akan menurunkan ansietas.
g) Hindari membicarakan topik yang menjengkelkan atau yang mengancam pasien, diskusikan cara untuk berespons terhadap perasaan tersebut.
Peningkatan kepekaan dari susunan saraf pusat dapat menyebabkan pasien mudah untuk terangsang, agitasi dan emosi yang berlebihan.
h) Diskusikan dengan orang terdekat keadaan lelah dan emosi yang tidak stabil ini.
Mengerti bahwa tingkah laku tersebut secara fisik meningkatkan koping terhadap situasi sat itu dorongan dan saran orang terdekat untuk berespons secara positif dan berikan dukungan pada pasien.
Kolaborasi:
i) Berikan obat sesuai indikasi (sedatif, mis: fenobarbital/luminal, transquilizer/klordiazepoksida/librium.
Untuk mengatasi keadaan (gugup), hiperaktif dan insomnia.

3) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan metabolisme (peningkatan nafsu makan/peasukan dengan penurunan berat badan); mual muntah, diare; kekurangan insulin yang relatif, hiperglikemia.
Tujuan asuhan keperawatan: Menunjukkan berat badan yang stabil disertai dengan nilai laboratorium yang normal dan terbebas dari tanda – tanda malnutrisi.
Rencana tindakan/rasional:

Mandiri:
a) Auskultasi bising usus.
Bising usus hiperaktif menerminkan peningkatan motilitas lambung yang menurunkan atau mengubah fungsi absorpsi.
b) Catat dan laporkan adanya anoreksia, kelelahan umum/nyeri, nyeri abdomen, munculnya mual dan muntah.
Peningkatan aktivitas adrenergik dapat menyebabkan gangguan sekresi insulin/terjadi resisten yang mengakibatkan hiperglikemia, polidipsia, poliuria, perubahan kecepatan dan kedalaman pernafasan (tanda asidosis metabolik).
c) Pantau masukan makanan setiap hari dan timbang berat badan setiap hari serta laporkan adanya penurunan berat badan.
Penurunan berat badan terus menerus dalam keadaan masukan kalori yang cukup merupakan indikasi kegagalan terhadap terapi antitiroid.
d) Dorong pasien untuk makan dan meningkatkan jumlah makan dan juga makanan kecil, dengan menggunakan makanan tinggi kalori yang mudah dicerna.
Membantu menjaga pemasukan kalori cukup tinggi untuk menambahkan kalori tetap tinggi pada penggunaan kalori yang disebabkan oleh adanya hipermetabolik.
e) Hindari pemberian makanan yang dapat meningkatkan peristaltik usus (mis. Teh, kopi dan makanan berserat lainnya) dan cairan yang menyebabkan diare (mis. Apel, jambu dll).
Peningkatan motilitas saluran cerna dapat mengakibatkan diare dan gangguan absorpsi nutrisi yang diperlukan.
Kolaborasi:
a) Konsultasikan dengan ahli gizi untuk memberikan diet tinggi kalori, protein, karbohidrat dan vitamin.
Mungkin memerlukan bantuan untuk menjamin pemasukan zat – zat makanan yang adekuat dan mengidentifikasikan makanan pengganti yang paling sesuai.
b) Berikan obat sesuai indikasi:
(1) Glukosa, vitamin B kompleks.
Diberikan untuk memenuhi kalori yang diperlukan dan mencegah atau mnegobati hipoglikemia.
(2) Insulin (dengan dosis kecil)
Dilakukan dalam mengendalikan glukosa darah jika kemungkinan ada peningkatan.

4) Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas jaringan b/d perubahan mekanisme perlindungan dari mata; kerusakan penutupan kelopak mata/eksoftalmus.
Tujuan asuhan keperawatan: Mampu mengidentifikasikan tindakan untuk memberikan perlindungan pada mata dan pencegahan komplikasi.
Rencana tindakan/rasional:
Mandiri:
a) Observasi edema periorbital, gangguan penutupan kelopak mata, lapang pandang sempit, air mata berlebihan. Catat adanya fotofobia, rasa adanya benda di luar mata dan nyeri pada mata.
Manifestasi umum dari stimulasi adrenergik yang berlebihan berhubungan dengan tirotoksikosis yang memerlukan intervensi pendukung sampai resolusi krisis dapat menghilangkan simtomatologis.
b) Evaluasi ketajaman mata, laporkan adanya pandangan yang kabur atau pandangan ganda (diplopia).
Oftalmopati infiltratif (penyakit graves) adalah akibat dari peningkatan jaringan retro-orbita, yang menciptakan eksoftalmus dan infiltrasi limfosit dari otot ekstraokuler yang menyebabkan kelelahan. Munculnya gangguan penglihatan dapat memperburuk atau memperbaiki kemandirian terapi dan perjalanan klinis penyakit.
c) Anjurkan pasien menggunakan kacamata gelap ketika terbangun dan tutup dengan penutup mata selama tidur sesuai kebutuhan.
Melindungi kerusakan kornea jika pasien tidak dapat menutup mata dengan sempurna karena edema atau karena fibrosis bantalan lemak.
d) Bagian kepala tempat tidur ditinggikan dan batasi pemakaian garam jika ada indikasi.
Menurunkan edema jaringan bila ada komplikasi seperti GJK yang mana dapat memperberat eksoftalmus.
e) Instruksikan agar pasien melatih otot mata ekstraokular jika memungkinkan.
Memperbaiki sirkulasi dan mempertahankan gerakan mata.
f) Berikan kesempatan pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang perubahan gambaran atau bentuk ukuran tubuh untuk meningkatkan gambaran diri.
Bola mata yang agak menonjol menyebabkan seseorang tidak menarik, hal ini dapat dikurangi dengan menggunakan tata rias, menggunakan kaca mata.
Kolaborasi:
a) Berikan obat sesuai dengan indikasi:
(1) Obat tetes mata metilselulosa.
Sebagai lubrikasi mata.
(2) ACTH, prednison.
Diberikan untuk menurunkan radang yang berkembang dengan cepat.
(3) Obat antitiroid
Dapat menurunkan tanda/gejala atau mencegah keadaan yang semakin memburuk.
(4) Diuretik
Dapat menurunkan edema pada keadaan ringan.
DAFTAR PUSTAKA:

Arthur C. Guyton and John E. Hall ( 1997), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Carolyn M. Hudak, Barbara M. Gallo (1996), Keperawatan Kritis; Pedekatan Holistik Volume II, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Donna D. Igatavicius, Kathy A. Hausman ( 1995), Medical Surgical Nursing: Pocket Companoin For 2 nd Edition, W. B. Saunders Company, Philadelphia.

Lynda Juall Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik Klinis edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Marylin E. Doengoes, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta







Photobucket